Jumat, 08 Juni 2007

pesona bawah laut....

Kabupaten Raja Ampat
ANDA penikmat panorama kehidupan bawah laut? Coba bandingkan lokasi yang Anda ketahui dengan kawasan laut di Kabupaten Raja Ampat. Kekaguman pasti segera terlontar. Selain panorama indah di atas permukaan laut, biota di dalam laut pun menjanjikan keindahan. Berbagai jenis ikan bermacam ukuran dan warna hilir mudik tiada henti. Beraneka ragam karang keras dan lunak menambah semarak kehidupan.
RAJA Ampat terletak di ujung paling barat Pulau Papua. Informasi keindahan alam kabupaten ini tidak ditemui dalam buku panduan wisata reguler di Indonesia. Segala cerita dan foto mengenai daerah ini justru berasal dari dunia maya: Internet. Orang- orang bule yang berprofesi sebagai peneliti kehidupan laut, penyelam profesional, fotografer atau turis biasa membuat situs tentang kabupaten ini.
Karena keindahan alamnya, Raja Ampat menjadikan pariwisata-terutama wisata bahari-sebagai salah satu andalan kegiatan ekonomi. Saat ini ada satu perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mengembangkan wisata bahari di Raja Ampat. Sebagian besar yang datang menikmati panorama alam Raja Ampat adalah warga asing.
Kabupaten Raja Ampat merupakan pemekaran Kabupaten Sorong. Kabupaten ini resmi menjadi daerah otonom pada 12 April 2003. Luas wilayahnya lebih kurang 46.000 kilometer persegi. Sekitar 85 persen merupakan luas laut. Sisanya, sekitar 6.000 kilometer persegi, merupakan daratan. Kabupaten ini memiliki 610 pulau. Empat di antaranya, yakni Pulau Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo, merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh pulau, hanya 35 pulau yang berpenghuni. Pulau lainnya tidak berpenghuni dan sebagian besar belum memiliki nama.
Karena begitu banyak pulau tidak berpenghuni, tidak jarang warga negara lain memanfaatkan keberadaan pulau itu. Kepulauan Asia, misalnya, yang terdiri atas Pulau Fani, Igi, dan Miarin. Kepulauan itu merupakan bagian Kecamatan Ayau, wilayah paling utara Kabupaten Raja Ampat. Daerah ini berbatasan dengan Negara Palau. Pulau-pulau yang terpencil itu sering dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dari badai oleh nelayan-nelayan Filipina.
Sebagai daerah kepulauan, satu-satunya transportasi antarpulau dan penunjang kegiatan masyarakat Raja Ampat adalah angkutan laut. Demikian juga untuk menjangkau Waisai, ibu kota kabupaten. Bila menggunakan pesawat udara, lebih dulu menuju Kota Sorong. Setelah itu, dari Sorong perjalanan ke Waisai dilanjutkan dengan transportasi laut. Sarana yang tersedia adalah kapal cepat berkapasitas 10, 15, atau 30 orang. Dengan biaya sekitar Rp 2 juta, Waisai dapat dijangkau dalam waktu 1,5 hingga dua jam.
Penduduk kabupaten ini tersebar di 88 kampung dan 10 distrik. Penggunaan nama kampung dan distrik sesuai dengan nomenklatur UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Sebagian besar (80 persen) penduduk bekerja sebagai nelayan. Sesuai dengan kondisi geografisnya, selain pariwisata, Raja Ampat juga mengandalkan perikanan dan kelautan.
Hampir semua wilayah perairan pantai dan laut di Kepulauan Raja Ampat berpotensi untuk pengembangan perikanan tangkap dan budidaya. Komoditas unggulan perikanan tangkap antara lain ikan tuna, cakalang, tenggiri, kerapu, napoleon wrasse, kakap merah, teripang, udang, dan lobster.
Daerah penangkapan ikan kerapu dan napoleon berada di perairan Waigeo Utara, Barat, dan Selatan, serta Kepulauan Ayau, Batanta, Kofiau, dan Misool. Teripang dan ikan tenggiri mudah ditemukan di hampir seluruh perairan kabupaten ini. Lobster banyak diperoleh di Waigeo, Misool, dan Kofiau. Cumi-cumi banyak ditemukan di Misool dan Waigeo Selatan.
Sayangnya, kabupaten ini belum mempunyai data produksi perikanan di wilayahnya. Kontribusi hasil perikanan bisa dilihat dari jumlah nilai yang diberikan Raja Ampat kepada Sorong saat daerah ini masih bagian Kabupaten Sorong. Ketika itu, dari hasil kegiatan ekonomi di usaha perikanan, setiap tahun Sorong menerima tidak kurang dari Rp 1,5 miliar.
Ikan hasil tangkapan nelayan selain konsumsi lokal juga dipasarkan ke daerah lain. Daerah tujuan bagi pemasaran teripang, rumput laut, serta cumi- cumi kering dan ikan teri kering adalah Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Adapun lobster juga dikirim ke Bali.
Di pasar, harga ikan kerapu dan napoleon sekitar Rp 125.000 per kilogram (kg). Teripang Rp 30.000-Rp 150.000 per kg, sedangkan harga lobster Rp 40.000-Rp 60.000 per kg.
Perikanan budidaya yang menjadi komoditas unggulan saat ini adalah mutiara dan rumput laut. Ada lima perusahaan yang mengembangkan budidaya mutiara secara modern di kabupaten ini. Tiga di antaranya adalah PMA, sisanya adalah perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Lokasi budidaya mutiara terdapat di Distrik Misool, Waigeo Barat, Waigeo Selatan, dan Batanta. Selain dijual ke pasar domestik, hasil budidaya mutiara diekspor ke Australia, Selandia Baru, Cina, dan Jepang.
Berdasarkan potensi masing- masing distrik, pemerintah kabupaten merencanakan pengembangan wilayah untuk empat sektor, yaitu pariwisata, perkebunan, pertambangan, dan perikanan.
Pariwisata, terutama wisata bahari, akan dikembangkan di Pulau Kofiau, Misool, Waigeo Selatan dan Barat, serta Kepulauan Ayau. Perkebunan dengan komoditas utama kelapa dalam dan kelapa sawit akan dipusatkan di Pulau Pam, Kofiau, dan Salawati. Kegiatan pertambangan dipusatkan di Pulau Salawati, Waigeo, Gag, Batanta, dan Misool. Di Salawati terdapat potensi batu bara dan migas. sedangkan Waigeo dan Gag memiliki nikel. Sementara itu, Batanta dan Misool masing-masing menyimpan potensi emas dan bahan baku pembuatan semen, sedangkan kegiatan perikanan diarahkan ke Kepulauan Ayau, Waigeo, Batanta, Salawati, dan Kofiau.

Tidak ada komentar: